Persepsi.co.id- Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Ainun Na’im, mengeluarkan surat yang mengatasnamakan Menteri. Surat itu sangat penting. Yaitu, perintah pelantikan rektor terpilih USU, Dr Muryanto Amin, yang terbukti melakukan otoplagiasi (self-plagiarism).
Surat bernomor 4607/MPK.A/RHS/KP/2021 tertanggal 22 Januari 2021 itu ditujukan kepada Majelis Wali Amanah (MWA) Universitas Sumatera Utara (USU). Isinya, memberitahukan sekaligus memerintahkan pelantikan pelantikan Muryanto pada 28 Januari 2021. Pelantikan akan dilaksanakan di Jakarta.
Banyak keanehan terkait penerbitan surat perintah oleh Plt Sekjen Ainun Na’im. Keanehan-keanehan itu harus diungkap karena bisa berakibat fatal bagi dunia pendidikan tinggi, khususnya tentang kejujuran ilmiah dan kehormatan USU.
Pertama, Ainun Na’im adalah Plt Sekjen yang telah melewati usia kerja. Di bulan Desember 2020, Ainum telah memasuki masa pensiun eleson satu struktural. Tidak seharusnya Ainum mengeluarkan surat yang sangat penting yang berisi perintah pelantikan rektor terpilih USU yang tersangkut kasus plagiasi.
Kedua, Ainum Na’im membuat tembusan surat itu ke Mendikbud. Padahal, yang mengeluarkan surat itu adalah Mendikbud sendiri yang diatasnamakan Ainun. Penerbitan surat ini pantas dicurigai sebagai upaya “jalan belakang” untuk melantik Muryanto.
Orang wajar menyimpulkan, jangan-jangan Mendikbud Nadiem Makarim tidak tahu surat yang dikeluarkan Ainun. Seharusnya, paling minim surat sepenting itu ditandatangani oleh Dirjen Dikti. Bisa jadi Ainun telah mengatur skenario pelantikan buru-buru. Dia bisa saja mengatakan kepada Dirjen Dikti bahwa ini perintah Mendikbud. Padahal, Mendikbud tidak tahu detail pelantikan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) di bawah naungan Kemendikbud yang jumlahnya 122 di seluruh Indonesia.
Artinya, sangat tidak mungkin Mendikbud Nadiem Makarim memperhatikan satu per satu yang dilantik atau siapa-siapa di antara 122 rektor/direktur PTN itu yang bermasalah. Patut diduga, Ainum memanfaatkan kesibukan kerja Mendikbud itu untuk menyusupkan pelantikan Muryanto.
Dugaan lainnya, bisa jadi Dirjen Dikti Porf Nizam sengaja mengelak untuk meneken surat perintah pelantikan Muryanto itu. Nizam tentu paham betul sensitivitas pelantikan ini dan kontroversi besar yang bakal muncul.
Ketiga, nomor surat tsb menyertakan kode “RHS” yang lazimya berarti rahasia. Jika benar “RHS” itu adalah rahasia, tentu layak dipertanyakan. Apa yang harus dirahasiakan? Bukankah pelantikan seorang rektor adalah konsumsi publik?
Keempat, kasus otoplagiasi ini telah dijatuhi sanksi oleh Rektor USU Prof Runtung Sitepu sebagai tindakan yang melanggar etka keilmuan dan moral civitas akademika. Rektor telah memutuskan bahwa Muryanto terbukti secara sah dan meyakinkan, dengan sengaja dan berulang, melakukan perbuatan plagiarisme (plagiasi/plagiat) dalam bentuk ‘self-plagiarism’ atau otoplagiasi (plagiasi karya tulis sendiri). Keputusan Rektor ini diambil berdasarkan penyelidikan cermat yang dilakukan oleh tim Komite Etik USU.
Rektor juga menjatuhkan hukuman penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Juga hukuman untuk mengembalikan insentif bagi penerbitan tulisan Muryanto yang berkonten plagiat di jurnal Man in India edisi September 2017.
Artinya, surat yang diterbitkan Ainun Na’im tidak menghiraukan keputusan Rektor USU yang diambil berdasarkan hasil penyelidikan saksama oleh tim Komite Etik.
Dari keempat kenehan ini saja –tentu ada lagi kanehan-keanehan lain— sangat pantas ditengarai bahwa Ainun seakan sedang memanfaatkan ‘menit-menit terakhir’ jabatannya sebagai Plt Sekjen Kemendikbud. MWA USU harus dan bisa mempertanyakan surat perintah yang ditandatangani Ainun. MWA sebaiknya menghubungi langsung Menidikbud dan Dirjen Dikti.
MWA tidak bisa melangkahi keputusan Rektor USU terkait otoplagiasi Muryanto. Sebab, di masa lalu sudah pernah dijatuhi hukuman otoplagiasi terhadap dua dosen USU. Yaitu, otoplagiasi yang terbukti dilakukan oleh Dr Maulida ST MSc pada 2013 (SK Rektor No 30/UN5.1.R/SK/SDM/2103). Kemudian, otoplagiasi yang terbukti dilakukan oleh Drs Arifin Lubis MM Ak pada 2015 (SK Rektor No 149/UN5.1.R/SK/SDM/2015).
Menurut berbagai sumber berita, Dr Muryanto Amin menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan otoplagiasi. Dia mengatakan, otoplagiasi tidak diatur oleh produk UU atau peraturan yang terkait dengan pendidikan tinggi. Selain itu, Muryanto menjelaskan bahwa dua artikel yang diakuinya bermasalah, diterbitkan oleh jurnal The Social Sciences (Agustus 2017) dan Intrnational Journal of Scientific Research and Management (Januari 2018) karena kelalaian editor di kedua jurnal itu.
Mayoritas anggota Dewan Guru Besar (DGB) USU dikabarkan tidak akan menerima pelantikan Muryanto menjadi rektor. Bagi mereka, plagiat adalah kesalahan fatal di dunia akademis. Kesalahan yang tak bisa dimaafkan.
Plagiator menjadi pimpinan lembaga keilmuan yang berbasis kejujuran dan integritas moral, akan mencoreng USU. Merendahkan martabat. Dan akan menjadi beban psikologis yang sangat berat. USU bukan enitas politik yang bisa dikompromikan.(By Asyari Usman)